JCCNetwork.id-Dunia hiburan Indonesia digemparkan oleh kabar duka yang tragis. Sandy Permana, pesinetron pemeran “Mak Lampir,” tewas di tangan tetangganya sendiri, Nanang Irawan alias Gimbal (47), dalam insiden penusukan yang terjadi di Perumahan Cibarusah Jaya, Kabupaten Bekasi. Peristiwa kelam ini berakar dari dendam lama yang telah tersimpan sejak 2019.
Kombes Wira Satya Triputra, Dirreskrimum Polda Metro Jaya, mengungkap kronologi panjang hubungan penuh konflik antara korban dan pelaku.
Menurut Wira, Sandy dan Nanang sudah menjadi tetangga sejak 2017. Namun, hubungan keduanya memburuk ketika pada 2019 Sandy mengadakan pesta pernikahan di rumahnya.
Masalah muncul saat Sandy mendirikan tenda untuk acara tersebut, yang memasuki pekarangan rumah Nanang tanpa izin. Bahkan, pohon di pekarangan rumah Nanang ditebang sepihak.
“Sekitar tahun 2019 korban ingin mengadakan pesta acara pernikahannya dengan cara mendirikan tenda dengan memasuki pekarangan rumah tersangka, serta menebang pohon di pekarangan rumah tersangka tanpa seizin terlebih dahulu,” kata Wira saat konferensi pers di Polda Metro Jaya, Kamis (16/1/2025).
Sejak kejadian itu, hubungan keduanya semakin memburuk. Nanang memilih untuk menghindari kontak dengan Sandy. Bahkan, pada 2020, Nanang memutuskan menjual rumahnya dan pindah ke blok lain di perumahan yang sama. Meski demikian, rasa sakit hati terhadap Sandy tetap membekas di hati Nanang.
“Atas perbuatan korban tersebut tersangka merasa sakit hati dan menyimpan dendam sama korban,” tambahnya.
Masalah baru muncul pada Oktober 2024, ketika digelar rapat warga RT 005 RW 008 terkait pemakzulan Ketua RT yang diduga berselingkuh. Dalam rapat tersebut, Sandy terlibat cekcok dengan istri Ketua RT. Nanang yang hadir di acara itu mencoba menenangkan Sandy. Namun, upaya itu justru memperkeruh suasana.
“Lalu tersangka menegur korban dengan kalimat, ‘nggak usah teriak-teriak, biasa saja’. Namun, korban melototi tersangka dan berkata kepada tersangka dengan kalimat ‘lu bukan warga sini, nggak usah ikut-ikutan’,” ungkap Wira.
Ketegangan tak berhenti di situ. Keesokan harinya, Sandy mengirim pesan somasi kepada istri Nanang melalui WhatsApp, menuduh bahwa Nanang berencana menyerangnya saat rapat. Tuduhan ini semakin memperparah kebencian Nanang terhadap Sandy.
“Yang berisi tuduhan bahwa tersangka ingin menyerang korban pada saat rapat. Mendengar informasi dari istri tersangka tersebut, tersangka tidak menanggapinya. Namun menambah rasa benci tersangka terhadap korban,” ujarnya.
Minggu pagi, 12 Januari 2025, menjadi puncak dari dendam yang telah lama terpendam. Saat itu, Nanang sedang memperbaiki sepeda motornya di depan rumah. Sandy yang melintas dengan sepeda motor listrik meludah ke arah Nanang dan menatapnya dengan sinis. Sikap ini memicu emosi Nanang yang sudah lama terpendam.
Dengan cepat, Nanang mengambil pisau dari kandang ayam di dekat rumahnya dan mengejar Sandy.
“Kemudian tersangka berlari mengejar korban dengan maksud untuk melukai korban serta meluapkan kekesalan yang selama ini tersangka pendam,” jelas Wira.
Sandy berusaha melawan, tetapi Nanang terus menyerang secara brutal. Pisau menusuk pelipis, kepala, dada, hingga leher korban. Bahkan, saat Sandy mencoba melarikan diri, Nanang mengejarnya dan kembali menusuk punggung korban.
“Lalu tersangka tetap berusaha untuk melukai korban dengan cara menusuk kembali ke pelipis kiri korban sebanyak satu kali, menusuk kepala korban sebanyak satu kali, menusuk dada korban sebanyak satu kali,” katanya.
“Tersangka mengejar dan menusuk kembali ke arah punggung kiri korban sebanyak satu kali,” ungkapnya.
Sandy ditemukan warga dalam kondisi bersimbah darah. Sayangnya, nyawanya tidak dapat diselamatkan. Sementara itu, Nanang melarikan diri ke Karawang. Untuk menghindari pengejaran polisi, ia bahkan mencukur rambutnya. Namun, pelariannya berakhir setelah ditangkap di Desa Kutamukti, Kecamatan Kutawaluya, Karawang, pada Rabu (15/1).
Kini, Nanang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Ia dijerat Pasal 354 KUHP tentang penganiayaan berat dan/atau Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Kasus ini menjadi pengingat pahit tentang bagaimana dendam yang dipendam terlalu lama dapat berujung pada tragedi tak terbayangkan.