JCCNetwork.id- Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) DKI Jakarta, Reda Manthovani menilai penggunaan restorative justice (RJ) saat ini semakin meningkat dalam penanganan kasus tindak pidana ringan.
Hal itu ia sampaikan pada saat menjadi narasumber dalam acara Dies natalis ke 23 FH Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jakarta pada Kamis, 4 Mei 2023.
“Saat ini tren RJ semakin meningkat, terutama untuk perkara yang ringan, karena proses RJ merupakan tujuan pidana untuk memperoleh keadilan,” kata Reda.
Reda menjelaskan, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru, hakim diberikan kewenangan untuk menyatakan suatu perkara dapat diselesaikan di luar proses pengadilan.
“Dalam KUHP baru, terdapat Pasal 132 ayat (1) huruf G Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk meng-RJ kan, sehingga perkara dapat diselesaikan di luar proses peradilan,” ucap Reda.
Bahkan, lanjut Reda, proses RJ sebenarnya sudah ada dalam sistem peradilan pidana anak yang disebut diversi, dimana dalam proses mulai penyidikan wajib menawarkan perdamaian.
“Hal ini adalah hal yang bagus dan bisa ditiru bukan hanya dalam sistem pidana peradilan anak, tetapi juga dalam sistem pidana peradilan umum,” ungkapnya.
Mantan Kajati Banten itu menilai, meskipun Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung sepakat dengan adanya RJ, namun masih terdapat perbedaan karena penerapannya masih bersifat parsial.
“Salah satu contoh di kejaksaan adalah RJ bisa diterapkan pada kasus pidana yang ancaman hukumnya kurang dari 5 tahun dan kerugian di bawah 2.5 juta,” ungkap Reda
Menurutnya, semangat RJ ini juga terlihat di DPR dengan lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP. Nantinya, dalam tiga tahun ke depan, penerapan KUHP baru harus diselaraskan, termasuk kesamaan proses mulai tahap penyidikan. (Nando).