JCCNetwork.id – Badan Karantina Pertanian ( Barantan) mendeteksi adanya kandungan aflatoksin, buah pala dari Indonesia yang limite. Hal itu disebabkan oleh penolakan, negara Uni Eropa(UE) terhadap pala Indonesia saat akan diekspor.
Demikian kata Analis Perakaratinaan Tumbuh Ahli Utama Pertanian (Barantan) Antarjo Dikin, saat pemataran materi dalam rapat teknis mitigasi cemaran aflatoksin secara daring.
“Aflatoksin merupakan senyawa organik hasil metabolisme sekunder dari jamur Aspergillus sp, yang mempunyai sifat toksin atau racun bagi kesehatan manusia atau hewan,” kata Antarjo dikutip, Minggu (2/4/2023).
Antarjo Dikin menjelaskan bahwa, Limite kadar aflatoksin total (aflatoksin B1, B2, G1 dan G2) ≤ 20 μg per kilogram dengan syarat aflatoksin B1 ≤ 5 μg per kilogram tidak boleh mengandung pengawet, pengharum, dan pewarna. Ini terjadi lantaran sebagian besar pala Indonesia dari perkebunan tradisional yang masih belum memerhatikan mutunya.
Menurut Dia kemungkinan besar kontaminasi cendawan dan ketidaksesuaian produk cukup tinggi.
Melalui data dari Indonesia Rapid Alert System for Food and Feed (INRASFF) dan Berita Faksimile (BRAFAKS) Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di UE mencatat sepanjang 2016 hingga Juli 2022, pala Indonesia mendapatkan Notification of Non-Compliance (NNC) sebanyak 95 persen dari negara UE.
“Dalam jangka waktu 2019 sampai dengan 2021, total ekspor pala biji tujuan UE sebanyak 6.864 ribu ton dengan jumlah yang dinotifikasi 92.074 ton atau 1,34 persen. Tercatat pada sistem Barantan, IQFast, jumlah ekspor pala asal Maluku pada tahun 2022 sebanyak 3.114 ton,”Ujarnya.
Antarjo juga menyampaikan terkait, tindak lanjut stabilitas ekspor bebas cemaran aflatoksin,dengan panen buah tidak menyentuh tanah, penjemuran pala dengan oven, serta pengemasan dengan silika gel dan kemasan kedap udara, kebersihan kontainer.
Maka dari itu koordinasi beberapa instansi, seperti dinas perkebunan, OKKPD, Barantan dan eksportir, laporan monitoring perkembangan, dan klinik ekspor sangat diperlukan.
Penerapan standar harus dimulai dari hulu hingga hilir Sebab menurutnya pala yang dihasilkan bebas dari cemaran aflatoksin dan sesuai dengan persyaratan negara tujuan.
“Setiap rantai pasok mulai dari petani, pengumpul, eksportir, hingga distribusi, memiliki andil yang tinggi terhadap keberhasilan ekspor pala Indonesia,”tutupnya.
Sedangkan Kepala Stasiun Karantina Pertanian (SKP) Kelas I Ambon Kostan menambahkan bahwasanya, pihaknya tengah melakukan berbagai langkah strategis untuk memperbaiki kualitas pala sebagai bentuk upaya menyukseskan agrobisnis pertanian di Maluku.
“Perlu melakukan peningkatkan sumber daya manusia( SDM) dari pejabat fungsional hingga memberikan bimbingan teknis kepada petani serta percepatan layanan ekspor. Selain itu pihaknya pun selalu menjalin sinergitas dengan instansi terkait di Maluku,” ucap SKP Kelas I Ambon.