JCCNetwork.id- Daerah Sulawesi Tengah, dinilai tidak profesional dalam menangani kasus dugaan penyerobotan tanah di Desa Tamainusi, Kecamatan Soyojaya, Kabupaten Morowali Utara.
Kepala Desa Tamainusi, Ahlis mengaku, sangat kecewa dan menyesalkan langkah hukum yang dilakukan Polda Sulteng kepada dirinya.
Pasalnya, Polda Sulteng sudah tendensius dan tidak profesional dalam menangani kasus dugaan penyerobotan tanah yang dituduhkan kepadanya.
Menurut Ahlis, ia dilaporkan ke Polda Sulteng oleh perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan di Morowali Utara yakni PT.
Latanindo Mining.
Di mana, laporan itu Desember 2022. Dan pada Januari 2023, Ahlis diperiksa dan langsung ditetapkan sebagai tersangka serta dilakukan penahanan (kurungan badan) sekitar satu bulan lamanya.
Dalam kasus ini, Ahlis bahkan menerima beberapa perlakuan tidak wajar dan sangat tidak profesional dari penyidik Polda Sulteng.
Seperti halnya pemanggilan kepada Ahlis, yang hanya disampaikan penyidik melalui pesan di Whatsapp.
“Bunyi pesan WA-nya kurang lebih seperti ini. Beri tahu kades, segera datang ke Kolonadale, Morowali Utara untuk dimintai keterangan. Kalau tidak datang, jangan kami sampai panggil ke Palu. Pemanggilan seperti ini kan tidak profesional,” terang Ahlis saat dihubungi dari Palu, Kamis (16/3/2023).
Tidak hanya itu, setelah Ahlis menjalani pemeriksaan di Polda Sulteng, statusnya sebagai saksi langsung dinaikkan menjadi tersangka. Parahnya lagi langsung dilakukan penahanan hanya dalam rentang waktu kurang dari 1×24 jam.
“Perlakuan yang saya alam itu sangat tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku,” ujarnya.
Bahkan, ketika menjalani pemeriksaan secara maraton sejak pagi hingga petang hari menjelang dilakukan penahanan, Ahlis diperlakukan tidak manusiawi. Hak Asasi Manusianya dirampas. Sebab, tidak diperkenankan penyidik untuk melakukan istrahat dan makan. Padahal Ahlis sudah meminta izin kepada penyidik.
Dan yang lebih mencengangkan lagi, masa penahanan Ahlis di Polda Sulteng melebihi dua hari (2×24 jam). Padahal, putusan Praperadilan dari Pengadilan Negeri Poso sudah terbit.
Ahlis menang Praperadilan dan diperintahkan dikeluarkan dari tahanan. Tapi penyidik Polda Sulteng, tak kunjung mengeluarkan dari dalam tahanan selama 2×24 jam.
“Nanti di hari ketiga pasca putusan Praperadilan baru saya dikeluarkan, itu pun prosesnya alot,” ungkapnya.
Putusan Praperadilan yang dimenangkan Ahlis selaku pemohon dan Polda Sulteng sebagai termohon, dengan nomor: 2/Pid.Pra/2023/PN Poso tanggal 3 Februari 2023.
Dalam putusannya, Pengadilan Negeri Poso menyatakan proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan termohon (Polda Sulteng) dinyatakan tidak sah.
Bahkan, Pengadilan Negeri Poso dalam putusan Praperadilan nomor : 2/Pid.Pra/2023/PN Poso dalam poin empat menyebutkan: “memerintahkan kepada termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap pemohon”.
Bukan itu saja, Polda Sulteng malah sudah mengeluarkan SP3 atau surat penghentian penyidikan kepada Ahlis dalam kasus ini.
Tapi sungguh aneh, setelah memenanangkan Praperadilan di Pengadilan Negeri Poso tanggal 3 Februari 2023, hanya berselang lima hari kemudian, Polda Sulteng kembali menerbitkan SPDP (surat pemberitahuan dimulainya penyidikan) pada tanggal 8 Februari 2023 dengan TKP yang sama dan menjerat dengan pasal yang sama kepada Ahlis.
Apa yang dilakukan Polda Sulteng, menurut Ahlis, sangat mencederai rasa keadilan.
Betapa tidak, Ahlis yang hanya seorang kepala desa, tapi justru diperlakukan laiknya seorang pelaku tindak pidana kejahatan “kelas kakap”.
“Polda Sulteng masih terus melanjutkan kasus saya. Ini ada apa?. Jangan-jangan kasus ini by order?,” tanya Ahlis.
Ahlis menjelaskan, justru laporan PT. Latanindo Mining ke Polda Sulteng atas penyerobotan tanah, sebenarnya tidak berdasar. Karena Ahlis mengelola tanah miliknya sendiri.
Kepemilikan tanah tersebut dibuktikan dengan alas hak yang dikuasai berupa SPT (surat pernyataan tanah) yang terbit Tahun 1994 dan SHM (sertifikat hak milik) terbit tahun 2021.
Ahlis memiliki SPT dan SHM atas tanah yang dituduhkan penyerobotan dan dilaporkan PT Latanindo Mining.
“Sebaliknya, saya mempertanyakan keabsahan IUP (Izin Usaha Pertambangan) PT Latanindo Mining yang lokasinya berada di atas tanah milik saya dan beberapa warga Desa Tamainusi lainnya,” tegas Ahlis.
Oleh karena itu, Ahlis meminta meminta Mabes Polri khususnya Divisi Propam, segera memanggil dan memeriksa oknum-oknum penyidik di Polda Sulteng bagian Kriminal Khusus yang menangani kasus ini. Karena mereka sudah tidak profesional dan tendensius.
Ahlis juga meminta Komisi III DPR RI selaku mitra kerja Mabes Polri, memberi perhatian atas kasus ini. Di mana, langkah hukum yang dilakukan polisi di Polda Sulteng, mesti diatensi Komisi III. Karena apapun alasannya, Polda Sulteng adalah bawahan dan perpanjangan tangan Mabes Polri di daerah.
Selain itu, ia juga meminta kepada Ombudsman RI melalui Ombudsman Perwakilan Sulteng, turun tangan memanggil dan memeriksa Polda Sulteng atas prosedur pemeriksaan yang dilakukan secara tidak profesional.
“Dan IUP yang berada di kawasan pemukiman Desa Tamainusi saat ini, harus dikeluarkan. Jangan ada IUP perusahaan mana pun itu di kawasan pemukiman warga. Sesuai Undang-Undang Minerba, IUP harus radius 5 KM dari kawasan pemukiman,” papar Ahlis.
Tidak hanya itu, Ahlis juga meminta Pemerintah Kabupaten Morowali Utara dan Pemerintah Sulawesi Tengah, tidak tinggal diam dengan kasus ini.
Bagaimana pun kasus yang dialami Ahlis telah meresahkan masyarakat desa tersebut. Masyarakat sangat keberatan dengan kriminalisasi yang dialami kades mereka.
“Sehingga pemerintah kabupaten dan provinsi harus meredam dan melakukan mediasi. Karena saya sebagai kades tidak bisa menahan keberatan warga,” tandas Ahlis.