JCCNetwork.id- Penjara bukan sekadar tempat hukuman, tetapi bagi para tahanan di dua penjara ini, jeruji besi adalah gerbang menuju siksaan tanpa akhir. Black Dolphin di Rusia dan Gitarama di Rwanda adalah dua fasilitas yang menjelma sebagai neraka dunia bagi mereka yang terkurung di dalamnya.
Black Dolphin, Penjara Tanpa Harapan di Rusia
Di sudut paling selatan Rusia, berdiri bangunan merah muda yang tampak tak berbahaya. Namun, siapa sangka, di dalamnya berkumpul ratusan pelaku kejahatan paling keji yang pernah ada. Pembunuh berantai, pemerkosa, pedofil, bahkan kanibal menjadi penghuni tetap Black Dolphin—penjara yang tak memberikan sedikit pun ruang bagi harapan.
Setiap satu dari 700 narapidana di sini dijatuhi hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat. Mereka tidak diberi kesempatan untuk duduk santai, bahkan di dalam sel mereka sendiri. Dijaga 24 jam penuh, setiap 15 menit penjaga memastikan mereka tetap dalam kendali. Jika mereka harus dipindahkan, mata mereka ditutup dan tubuh mereka diborgol, memastikan mereka tak bisa melihat jalur keluar atau menghafal tata letak penjara.
Makanan mereka? Sup hambar empat kali sehari. Aktivitas fisik? Terbatas pada 90 menit di dalam kandang besi. Tak ada hiburan, tak ada interaksi sosial, tak ada harapan. Para penjaga sendiri tak memiliki belas kasihan, menganggap para narapidana sebagai monster yang tak layak dianggap manusia.
Sejarah mencatat, total lebih dari 3.500 orang telah dibunuh oleh para penghuni Black Dolphin. Dengan rata-rata lima korban per narapidana, penjara ini bukan hanya tempat hukuman, tetapi juga kuburan hidup. Tak ada yang pernah melarikan diri dari sini. Satu-satunya jalan keluar adalah mati.
Gitarama, Neraka Hidup di Rwanda
Jika Black Dolphin dikenal sebagai penjara dengan keamanan tak tertembus, maka Gitarama di Rwanda adalah simbol dari kengerian manusia yang dibiarkan membusuk dalam ketiadaan.
Penjara ini seharusnya hanya mampu menampung 400 tahanan, namun kenyataannya lebih dari 7.000 orang dijejalkan di dalamnya. Kebanyakan dari mereka adalah tersangka genosida Rwanda 1994, tetapi hukum yang berlaku di sana sudah tidak lagi masuk akal.
Karena terlalu penuh, para tahanan terpaksa berdiri sepanjang hari, tanpa sepatu, di atas tanah yang dipenuhi kotoran. Akibatnya, banyak dari mereka mengalami infeksi parah hingga kaki mereka membusuk. Namun, di tempat ini, tenaga medis hampir tak tersedia, sehingga banyak yang akhirnya mati begitu saja tanpa pertolongan.
Tidak ada makanan yang cukup, tidak ada tempat untuk beristirahat, tidak ada air bersih, tidak ada batasan kekerasan. Di Gitarama, tahanan yang tak kuat akan mati—dan tubuh mereka akan menjadi santapan bagi yang masih hidup.
Dua penjara ini bukan sekadar tempat hukuman, tetapi lambang dari siksaan tanpa akhir. Black Dolphin dan Gitarama adalah dua tempat di mana hidup lebih buruk daripada mati.