JCCNetwork.id-Harga minyak dunia anjlok lebih dari 2% pada penutupan perdagangan Senin (11/11/2024) waktu setempat. Penurunan ini mencerminkan kekecewaan investor terhadap kebijakan stimulus yang diluncurkan oleh China. Investor sempat berharap langkah stimulus tersebut dapat meningkatkan permintaan minyak di pasar global, namun kenyataannya, stimulus yang diberikan tidak memberikan dampak signifikan yang diharapkan.
Mengutip Reuters pada Selasa (12/11/2024), harga minyak Brent jatuh sebesar USD 2,04 atau 2,76%, sehingga kini berada di level USD 71,83 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) juga mengalami penurunan tajam, merosot USD 2,34 atau 3,32%, dan berakhir di USD 68,04 per barel. Catatan penurunan ini pun mengulang tren yang terjadi di pekan lalu, di mana kedua patokan harga minyak global ini turun lebih dari 2% pada perdagangan hari Jumat.
Situasi ekonomi di China tampaknya turut mempengaruhi kondisi pasar minyak dunia. Pada Oktober, inflasi harga konsumen di China mengalami pertumbuhan paling lambat dalam empat bulan terakhir. Bahkan, harga produsen di negara tersebut terus tertekan hingga menciptakan deflasi yang semakin mendalam. Langkah pemerintah China yang berupaya menstimulus perekonomian belum mampu mendongkrak daya beli yang diharapkan. Menurut Achilleas Georgolopoulos, seorang analis pasar dari XM, inflasi di China yang terus melemah ini memicu kekhawatiran serius akan bahaya deflasi, terutama karena indeks harga produsen mengalami penurunan tahunan yang semakin tajam dan masuk ke zona negatif.
“Angka inflasi China kembali lemah, dengan pasar mengkhawatirkan deflasi, terutama karena perubahan tahunan indeks harga produsen semakin jatuh ke wilayah negatif. Momentum ekonomi China tetap negatif,” kata analis pasar XM Achilleas Georgolopoulos.
Di sisi lain, kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat 2024 juga diperkirakan memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap pasar minyak. Trump, yang selama kampanye mengusung slogan “drill, baby, drill,” berencana untuk memperbanyak produksi minyak dalam negeri Amerika Serikat. Komitmen ini menjadi sinyal bagi investor untuk menghindari posisi beli di pasar minyak, karena produksi yang lebih tinggi akan berpotensi menambah pasokan minyak global dan menekan harga.
Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group, menjelaskan bahwa kebijakan produksi masif yang direncanakan oleh Trump menurunkan keinginan investor untuk melakukan aksi beli, yang berdampak langsung pada penurunan harga minyak.
Sementara itu, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan dolar terhadap berbagai mata uang global juga mengalami penguatan, sedikit melampaui posisi tertinggi yang tercatat setelah pemilu AS minggu lalu. Penguatan dolar ini memberikan efek tambahan bagi harga minyak, mengingat minyak mentah diperdagangkan dalam dolar AS. Ketika dolar menguat, harga minyak menjadi lebih mahal bagi pemegang mata uang lain, sehingga mengurangi minat beli dan menambah tekanan pada harga.
Di tengah ketidakpastian ini, pasar masih menunggu sinyal-sinyal baru mengenai arah kebijakan ekonomi AS di bawah kepemimpinan Trump yang dapat memengaruhi stabilitas harga minyak ke depannya. Meski kebijakan stimulasi China sempat diharapkan menjadi dorongan positif bagi permintaan minyak, ketidakmampuan ekonomi China untuk keluar dari tekanan deflasi justru mempertegas betapa rapuhnya pasar minyak di tengah dinamika global yang sedang berlangsung.