JCCNetwork.id-Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Bekasi resmi melayangkan protes terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengenai penyerahan ijazah secara sukarela oleh sekolah kepada seluruh siswa.
Protes tersebut disampaikan dalam forum audiensi di Gedung DPRD Jawa Barat, Kota Bandung, Rabu (22/5), yang turut dihadiri perwakilan PCNU, RMI-NU, Forum Pondok Pesantren, Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), serta sejumlah pengasuh pondok pesantren.
Mereka diterima langsung oleh Wakil Ketua DPRD Jabar Acep Jamaludin dan anggota Fraksi PKB, Rohadi.
Ketua PCNU Kabupaten Bekasi KH Atok Romli Mustofa menyebut kebijakan Gubernur Dedi sebagai tidak berpihak dan bahkan merugikan pesantren.
Ia menilai keputusan itu diambil secara sepihak dan tanpa kajian yang matang.
“Kami sangat menyayangkan kebijakan tersebut karena tidak berpihak pada kalangan pesantren bahkan kebijakan tersebut adalah dzalim. Ini sangat menyedihkan,” kata Ketua PCNU Kabupaten Bekasi KH Atok Romli Mustofa di Kota Bandung, Rabu.
Pihaknya khawatir dampak kebijakan ini akan terasa serius, baik dalam jangka pendek maupun panjang, terutama karena sistem pendidikan di pesantren berjalan penuh selama 24 jam.
“Ada biaya yang sangat besar yang dikeluarkan pesantren secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Berbeda dengan sekolah negeri yang secara pembiayaan dipenuhi oleh pemerintah,” kata Atok.
Ia juga menekankan bahwa pembiayaan pesantren mayoritas bersumber dari dana mandiri, tidak seperti sekolah negeri yang mendapat sokongan penuh dari pemerintah.
Pengasuh Ponpes Yapink Pusat, KH Kholid, menyampaikan bahwa kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan keresahan di lingkungan pesantren.
Ia menyebut adanya tekanan dari alumni yang menuntut ijazah, sementara kewajiban finansial mereka kepada pesantren belum terpenuhi.
“Sedangkan di sisi lain, ada hak pesantren yang tidak terpenuhi. Tentu hal tersebut akan mengganggu proses belajar mengajar di lingkungan pesantren,” kata Kholid.
“Banyak kasus di Kabupaten Bekasi yang satu pesantren saja sudah mengeluarkan Rp 1 miliar-Rp 1,7 miliar uang keluar yang belum dilunasi oleh para alumni,” ucap Kholid.
Ia juga memperingatkan potensi krisis moral jika santri tidak lagi diajarkan tanggung jawab dan adab kepada pesantren.
“Orang tua dan santri tidak diajarkan tanggung jawab untuk memenuhi kewajiban. Maka yang akan rusak adalah generasi bangsa. Tidak akan terwujud generasi emas yang dicita-citakan,” ujar Kholid.
Sementara itu, Ketua BMPS Kabupaten Bekasi H.M. Syauqi menilai kebijakan tersebut tidak partisipatif karena diambil tanpa melibatkan elemen pendidikan swasta.
Ia menyebut kontribusi pesantren dan sekolah swasta sangat vital, mengingat negara hanya mampu memenuhi sekitar 25–35 persen kebutuhan pendidikan melalui sekolah negeri.
“Memang benar, semua rakyat Indonesia berhak menerima pendidikan secara gratis karena menjadi tanggung jawab sepenuhnya oleh pemerintah. Tapi, apakah pemerintah sudah dan mampu memenuhi kewajibannya tanpa peran sekolah swasta, khususnya pesantren? Kami yakin, tidak,” kata Syauqi.
Audiensi ini diharapkan dapat mendorong DPRD Jawa Barat meninjau ulang kebijakan tersebut dan mendorong Gubernur Dedi Mulyadi untuk mengevaluasi atau mengecualikan pesantren dari ketentuan tersebut.
“Melalui kegiatan audiensi dengan pimpinan DPRD Jawa Barat ini kami berharap ada dorongan dan eskalasi kepada Gubernur Jawa Barat untuk memperhatikan pesantren dan merevisi atau membuat pengecualian kebijakan terhadap pesantren. Solusi dari masalah yang timbul akibat kebijakan tersebut mutlak dibutuhkan,” kata Syauqi.