JCCNetwork.id-Pemerintah kembali menunjukkan komitmennya dalam mendukung sektor pertanian dengan mengeluarkan kebijakan baru yang mewajibkan Perum Bulog membeli gabah kering panen (GKP) dari petani dengan harga tetap Rp 6.500 per kilogram, tanpa syarat kualitas. Langkah ini mendapat sambutan positif dari berbagai pihak, termasuk akademisi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Muhammad Aras Prabowo.
Menurut Aras, kebijakan ini merupakan bukti nyata keberpihakan pemerintah kepada petani. Selama ini, banyak petani mengalami kesulitan menjual hasil panennya karena standar kualitas yang diterapkan Bulog. Dengan penghapusan mekanisme rafaksi, petani tidak lagi dirugikan oleh standar kadar air maupun kadar hampa yang sering menjadi kendala dalam penjualan gabah mereka.
Namun, meskipun kebijakan ini dianggap sebagai langkah maju, Aras menekankan pentingnya pengawasan ketat dalam implementasinya. Ia mengingatkan agar Bulog benar-benar membeli gabah langsung dari petani tanpa melalui perantara yang bisa memainkan harga di lapangan.
“Kebijakan ini merupakan bentuk nyata keberpihakan kepada petani. Namun, pengawasan harus diperketat agar Bulog benar-benar melakukan pembelian langsung dari petani dan tidak ada permainan harga oleh tengkulak,” tegas Muhammad Aras Prabowo dikutip dari keterangannya, Senin (3/2/2025).
Seperti diketahui, sebelum adanya kebijakan baru ini, Bulog menerapkan standar pembelian GKP dengan kadar air maksimal 25% dan kadar hampa maksimal 10%. Jika gabah tidak memenuhi standar tersebut, harganya akan dikurangi melalui mekanisme rafaksi. Akibatnya, banyak petani yang harus menjual gabahnya dengan harga jauh di bawah ketentuan resmi.
Namun, setelah Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 14 Tahun 2025 diterbitkan, mekanisme rafaksi dihapus, dan Bulog diwajibkan membeli GKP dengan harga Rp 6.500 per kilogram tanpa mempertimbangkan kadar air maupun kadar hampa.
Dengan diberlakukannya kebijakan ini, diharapkan kesejahteraan petani akan meningkat secara signifikan. Stabilitas harga menjadi kunci bagi para petani agar mereka tidak lagi dirugikan oleh fluktuasi pasar yang sering tidak berpihak kepada mereka.
Menurut Aras, harga beli yang lebih stabil akan mendorong petani untuk meningkatkan produksi. Jika produksi meningkat, stok beras nasional juga lebih terjaga, yang pada akhirnya akan memperkuat ketahanan pangan Indonesia.
“Ini merupakan langkah afirmatif yang menunjukkan komitmen pemerintah dalam mendukung petani. Dengan harga yang lebih stabil, pendapatan petani dapat meningkat, dan mereka tidak lagi dirugikan oleh standar kualitas yang selama ini menjadi hambatan dalam penjualan hasil panen,” ujar Aras.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan harga beli yang menguntungkan petani harus diimbangi dengan penyelesaian masalah-masalah lain yang masih menghantui sektor pertanian, salah satunya adalah ketersediaan pupuk.
Di tengah optimisme terhadap kebijakan harga beli gabah ini, Aras menyoroti permasalahan mendasar yang belum terselesaikan, yaitu kelangkaan pupuk. Ia menegaskan bahwa keterlambatan distribusi pupuk saat musim pemupukan sering kali berdampak pada penurunan hasil panen petani.
“Ada masalah kronis dalam tata kelola pertanian yang belum terselesaikan, yaitu kelangkaan pupuk di saat dibutuhkan. Ini berakibat pada kegagalan panen petani. Oleh karena itu, solusi terhadap kesejahteraan petani harus dilakukan secara menyeluruh dari hulu hingga hilir,” paparnya.
Kondisi ini menjadi perhatian besar karena meskipun harga beli gabah sudah lebih baik, produktivitas pertanian bisa tetap rendah jika persoalan pupuk tidak segera ditangani. Pemerintah, terutama Presiden Prabowo, didesak untuk memastikan pasokan pupuk tersedia tepat waktu dan dalam jumlah yang cukup bagi petani.
Sebagai bagian dari kebijakan ini, pemerintah telah mengalokasikan tambahan anggaran sebesar Rp 16,6 triliun kepada Bulog untuk memastikan pembelian gabah dari petani berjalan lancar. Dana ini bertujuan memperkuat kapasitas Bulog dalam menyerap hasil panen petani serta mengelola stok cadangan beras pemerintah (CBP) secara optimal.
Namun, Aras mengingatkan bahwa pengawasan terhadap penggunaan anggaran ini harus diperketat. Menurutnya, kebijakan sebaik apa pun akan menjadi sia-sia jika dana yang dialokasikan tidak digunakan dengan efisien atau bahkan disalahgunakan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
“Penambahan anggaran ini sangat penting agar Bulog dapat beroperasi dengan maksimal. Namun, perlu adanya pengawasan ketat agar dana tersebut digunakan secara efisien dan tidak disalahgunakan,” tambah Aras selain menanggapi kebijakan Bulog dalam pembelian gabah.
Kebijakan baru Bulog dalam pembelian gabah tanpa syarat kualitas memang membawa angin segar bagi petani. Namun, keberhasilan kebijakan ini tidak hanya bergantung pada regulasi di atas kertas, tetapi juga pada implementasi di lapangan.
Pengawasan terhadap distribusi pupuk, mekanisme pembelian yang transparan, serta pengelolaan anggaran yang efektif menjadi tantangan besar yang harus segera diatasi. Jika tidak, kebijakan ini bisa saja hanya menjadi wacana yang tidak benar-benar membawa perubahan nyata bagi petani Indonesia.
Kini, semua mata tertuju pada bagaimana pemerintah, terutama Bulog, menjalankan kebijakan ini dengan baik. Akankah ini menjadi solusi jangka panjang bagi petani, atau hanya sekadar langkah sementara yang tidak mampu menyentuh akar permasalahan di sektor pertanian? Waktu yang akan menjawab.