JCCNetwork.id-Nusa Tenggara Barat (NTB) kini tengah menjadi sorotan publik setelah penetapan seorang remaja disabilitas tunadaksa berinisial IWAS sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelecehan seksual. Kasus ini semakin memancing perhatian karena tersangka diketahui memiliki keterbatasan fisik berupa tidak memiliki kedua lengan, sehingga menimbulkan beragam pertanyaan dan polemik di tengah masyarakat.
Kasus ini bermula dari laporan seorang korban yang mengaku menjadi sasaran pelecehan oleh IWAS. Pelecehan tersebut, menurut korban, dilakukan melalui komunikasi verbal yang diduga mampu memengaruhi psikologi dan tindakan korban. Berdasarkan hasil penyelidikan, Kepolisian Daerah (Polda) NTB meningkatkan status IWAS dari saksi menjadi tersangka setelah memperoleh sejumlah bukti pendukung.
Kepala Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Reserse Kriminal Umum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati, menjelaskan bahwa penetapan tersangka ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
“Jadi, dalam Undang-Undang TPKS. Dalam pasal 6, memang tidak serta merta hanya menuntut adanya unsur paksaan, kekerasan, tidak. Tetapi, beberapa pasal yang kami terapkan, mengarah adanya unsur tindakan yang menyebabkan seseorang tergerak untuk melakukan (dilecehkan secara fisik),” kata Pujawati.
IWAS diduga menggunakan pendekatan verbal untuk memanipulasi korban secara psikologis hingga tergerak mengikuti kemauan tersangka. Berdasarkan keterangan dari penyidik, kejadian tersebut tidak berakhir di lokasi awal, yaitu taman kota di Mataram, tetapi berlanjut hingga ke lokasi penginapan, tempat dugaan pelecehan terjadi.
“Karena memang fakta yang kami dapatkan juga demikian, sudah dikuatkan dengan alat bukti, baik keterangan sakai dan psikolog dari HIMPSI (Himpunan Psikologi Indonesia). Itu yang menjadi dasar kami meningkatkan statusnya dari saksi menjadi tersangka,” ucap dia.
Ia juga menambahkan bahwa keterangan saksi dan hasil pemeriksaan psikolog dari Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI) menjadi bukti kuat yang mendukung peningkatan status IWAS menjadi tersangka.
Kasus ini sebelumnya sempat viral di media sosial, mengundang beragam opini dari masyarakat. Banyak yang mempertanyakan bagaimana seseorang dengan disabilitas fisik seperti IWAS bisa dituduh melakukan tindakan pelecehan seksual. Namun, pihak kepolisian menegaskan bahwa kasus ini ditangani berdasarkan fakta hukum dan bukti-bukti yang valid.
“Tetapi, eksekusinya bukan di sana (taman kota), itu rangkaiannya. Jadi, dari situ, korban digerakkan menuju suatu lokasi (penginapan),” kata Pujawati.
Penetapan tersangka terhadap IWAS tidak lepas dari kritik. Sebagian masyarakat menilai bahwa kasus ini harus dilihat dengan pendekatan yang lebih hati-hati mengingat kondisi tersangka sebagai penyandang disabilitas. Di sisi lain, ada pula yang mendukung langkah kepolisian demi menegakkan keadilan bagi korban.
Pakar hukum dan aktivis hak disabilitas menyerukan perlunya transparansi dalam proses hukum ini. Mereka juga meminta agar pihak berwenang memastikan bahwa hak-hak tersangka sebagai individu dengan kebutuhan khusus tetap dihormati selama proses hukum berlangsung.
Kasus ini menjadi pengingat betapa kompleksnya persoalan hukum yang melibatkan individu dengan disabilitas. Di satu sisi, hukum harus melindungi korban dan memberikan keadilan, tetapi di sisi lain, perlu juga dipastikan bahwa proses hukum berjalan tanpa diskriminasi terhadap tersangka. Dengan perkembangan kasus ini, publik menantikan transparansi dan keadilan dalam penyelesaiannya.
Polda NTB berjanji akan terus mengusut kasus ini hingga tuntas dengan tetap mempertimbangkan semua aspek, baik dari sisi korban maupun tersangka.