JCCNetwork.id- Mantan Presiden Filipina, Rodrigo Duterte, akhirnya ditangkap! Pria berusia 79 tahun itu diamankan di Bandara Internasional Ninoy Aquino, Manila, pada Selasa (11/3) sebelum diterbangkan ke Den Haag, Belanda, untuk menghadapi pengadilan Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Duterte yang baru saja kembali dari Hong Kong tak menyangka langkah kakinya akan terhenti di bandara. Penangkapannya disebut terkait dugaan kejahatan kemanusiaan selama perang melawan narkoba yang ia gencarkan saat menjabat sebagai presiden pada 2016-2022. Dalam operasi brutal itu, lebih dari 6.000 orang yang diduga terlibat dalam kasus narkoba tewas, memicu kecaman internasional dan penyelidikan ICC.
Diburu ICC, Duterte Tak Bisa Mengelak
Pada Senin (10/3), Duterte sempat menyatakan kesiapannya untuk dipenjara jika ICC menerbitkan surat perintah penangkapan. Namun, setelah surat perintah benar-benar turun, sikapnya berubah drastis. Ia menolak penahanan, terutama karena eksekusinya dilakukan oleh otoritas asing. Sayangnya, nasib berkata lain. Duterte tak bisa menghindari jerat hukum internasional.
Kanal media Filipina melaporkan bahwa Duterte langsung dibawa ke pesawat yang menerbangkannya ke Den Haag pada Selasa malam. Penangkapan ini menjadi momen bersejarah mengingat Filipina telah menarik diri dari Statuta Roma pada 2018 dan menolak kerja sama dengan ICC. Namun, keputusan pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos Jr. yang tidak menghalangi proses penahanan membuat Duterte tak punya tempat untuk bersembunyi.
Wakil Presiden Filipina sekaligus putri Duterte, Sara Duterte, tak bisa menyembunyikan amarahnya. Ia mengecam keras penangkapan sang ayah, menyebutnya sebagai bentuk penindasan dan penghinaan terhadap kedaulatan Filipina. Sara juga menuding pemerintah saat ini tunduk kepada kekuatan asing dengan menyerahkan seorang mantan presiden kepada ICC.
Sara juga mengklaim ayahnya tidak diberikan hak-hak hukum yang semestinya sejak ditangkap. Menurutnya, Duterte dibawa secara paksa ke Den Haag tanpa dihadapkan terlebih dahulu kepada otoritas pengadilan yang kompeten di Filipina.
Diperkirakan lebih dari 6.000 orang yang diduga terkait dengan kejahatan narkoba dibunuh dalam operasi anti-narkoba pada masa jabat kepresidenan Rodrigo Duterte pada 2016 – 2022. Pembunuhan ini memicu penyelidikan ICC terhadap dugaan pelanggaran HAM.
Pada Maret 2018, Filipina menarik diri dari Statuta Roma yang menjadi dasar ICC. Pada Juli 2023, Filipina menolak bekerja sama dengan pengadilan internasional itu dan memilih menjalankan penyelidikan sendiri.
Kemudian pada November 2024, pemerintah Filipina di bawah Presiden Ferdinand Marcos Jr. sepakat tidak akan mencegah penahanan Duterte oleh ICC. Pada Januari lalu, mereka menyatakan akan mematuhi perintah penangkapan Duterte yang diterbitkan ICC.