JCCNetwork.id- Konflik lahan tara Kesultanan Yogyakarta dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) kian memanas. Kesultanan Yogyakarta secara resmi menggugat KAI ke Pengadilan Negeri Yogyakarta, menuntut ganti rugi senilai simbolis Rp1.000. Perselisihan ini berakar pada klaim KAI atas tanah Sultan Ground, yang dianggap Kesultanan sebagai miliknya.
Kuasa hukum Kesultanan, Markus Hadi Tanoto, menegaskan bahwa gugatan ini bukan sekadar soal klaim kepemilikan lahan, melainkan dorongan agar KAI lebih tertib dalam pengelolaan administrasi aset.
“Dalam gugatan, Kesultanan Yogyakarta hanya meminta KAI tertib administrasi dan patuh pada peraturan perundangan yang berlaku, apalagi terhadap permasalahan ini sudah dilakukan pendekatan dan diskusi bertahun-tahun, namun KAI tidak mengindahkan, bahkan cenderung mengulur waktu,” katanya, Kamis (7/11/2024).
Menanggapi gugatan ini, Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI), Kamilov Sagala, menilai bahwa tuntutan tersebut bertujuan untuk mengingatkan KAI mengenai kewajiban tertib administrasi.
“Kalau melihat kasus KAI dengan Kesultanan Yogyakarta itu adalah jelas sultan ground, ya. Artinya itu tanah mirip dengan tanah negara, tapi disebut dengan Sultan Ground. Jadi KAI seharusnya tunduk dengan status keistimewaan Yogyakarta,” ucapnya.
Ia menambahkan bahwa nilai ganti rugi yang hanya Rp1.000 menunjukkan Kesultanan tidak mengejar keuntungan finansial, melainkan meminta pengakuan terhadap hak historis mereka.
“Ini kalau anak-anak (istilahnya) dijewer telinganya, itu terlihat dalam gugatannya dituntut Rp1.000,” ujarnya.
Menurut Kamilov, sejak masa kolonial, tanah tersebut memang telah digunakan oleh Belanda untuk kepentingan transportasi, seperti pembangunan stasiun dan rel kereta. Namun, saat ini Indonesia telah merdeka, dan KAI diminta untuk menghargai kembali hak-hak tradisional Kesultanan Yogyakarta.
“Belanda waktu itu punya kekuatan, sehingga Sultan tidak bisa melawan. Namun, sekarang negara sudah merdeka,” ujarnya.