JCCNetwork.id – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus), T Oyong yang memutus penundaan tahapan Pemilu 2024 , kembali menjatuhkan Putusan kontroversi terhadap Notaris Bonardo Nasution yang memalsukan akta otentik.
Hakim T Oyong kembali menjadi kontroversial karena membebaskan terdakwa Bonardo Nasution yang dinyatakan terbukti bekerja sama melakukan pemalsuan terhadap akta otentik Penyelesaian Kewajiban uang kompensasi sebesar Rp 4,5 miliar milik tersangka Samuel Purba kepada saksi korban Drs. Santosa Brata Djaja.
“Mengadili, menyatakan perbuatan terdakwa Bonardo Nasution tidak terbukti sebagaimana dakwaan ke satu Penuntut Umum. Dan menyatakan perbuatan itu bukan tindak pidana. Membebaskan terdakwa Bonardo Nasution dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging),” kata Hakim T oyong dalam membacakan Putusannya di Ruang sidang Sawarta, PN Jakpus, Kamis, (30/3/2023).
Selain itu, hakim T Oyong juga memulihkan seluruh hak beserta harkat dan martabat terdakwa. “Membebaskan terdakwa dalam dakwaan kedua penuntut umum. Memulihkan hak-hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan hak-hak serta martabatnya,” Ucap Oyong.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan terdakwa terbukti bersalah melanggar pasal 264 KUHP dan menuntut terdakwa Bonardo Nasution 7 bulan penjara.
Kasus tersebut berawal dari permasalahan sengketa tanah antara saksi korban, Drs. Santosa Brata Djaja dengan saksi Samuel Purba (yang dilakukan penuntutan secara terpisah) yaitu sama-sama mengaku sebagai pembeli yang sah terhadap tanah milik Adat Girik No.C 343, Persil 21 Sill atas nama Miot Binti Miah seluas kurang lebih 30.810 m2 No.385, yang terletak di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
Dalam sengketa tersebut dari putusan perdata pada Peradilan Tingkat Pertama, Banding, Kasasi dan PK (peninjauan kembali) semuanya dimenangkan oleh saksi korban Santosa selaku penggugat dan tanah yang terletak di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Cipayung, Kota Jakarta Timur adalah secara hukum sah dibeli oleh saksi korban Santosa Brata Djaja.
Karena kalah dalam perkara perdata, kemudian saksi Samuel Purba mengajak saksi korban Santosa untuk berdamai. Selanjutnya, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai dan dibuatlah Akta Perjanjian Perdamaian No 4 tanggal 01 September 2008, Akta Pernyataan No.157 tanggal 22 Oktober 2008 dan Akta Adendum No.49 tanggal 06 November 2008 yang dibuat dan ditandatangani di Kantor Notaris Buntario Tigris, SH.
Salah satu klausul dalam Akta Perjanjian tersebut disepakati pihak saksi Samuel wajib memberikan uang kompensasi sebesar Rp 4,5 miliar kepada saksi korban Santosa. Tetapi beberapa tahun kemudian tanpa seijin dari saksi korban Santosa, pada tanggal 17 April 2012 dengan inisiatif sendiri saksi Samuel mendatangi terdakwa Bonardo Nasution selaku Notaris dan PPAT, yang juga merupakan temannya di City Walk Sudirman, untuk meminta atau menyuruh dibuatkan Akta Otentik berupa Akta Penyelesaian Kewajiban No. 5 tanggal 17 April 2012. Akta Otentik tersebut dibuat tanpa sepengetahuan dan tanpa kehadiran dari saksi korban Santosa selaku pihak terkait yang wajib hadir dalam pembuatan Akta Otentik tersebut.
Karena saksi Samuel adalah teman baik terdakwa, maka pada saat itu terdakwa langsung membuat Akta otentik berupa Akta Penyelesaian Kewajiban No.5 tanggal 17 April 2012 tanpa dilengkapi dokumen-dokumen yang sah, dan tidak sesuai dengan SOP/prosedur yang berlaku dalam pembuatan suatu Akta Otentik.
Terdakwa juga sudah menyadari kalau isi dari Akta otentik yang dibuatnya tersebut tidak benar karena terdakwa tidak pernah sama sekali melakukan cek data, dan memverifikasi dokumen-dokumen atau menanyakan langsung kepada saksi korban Santosa terkait kebenaran dari isi Akta otentik berupa Akta Penyelesaian Kewajiban No.5 tanggal 17 April 2012 sebagaimana yang diamanatkan atau disyaratkan dalam pasal 16 Ayat (1) huruf m Undang-undang No.2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yakni “kewajiban pembacaan Akta oleh Notaris dihadapan penghadap dan saksi”.(Nando).