JCCNetwork.id-Melambungnya harga cabai hingga Rp 100.000 per kilogram di pasaran ternyata tidak memberikan keuntungan bagi para petani di Kabupaten Kediri. Justru sebaliknya, para petani mengalami kerugian besar akibat gagal panen. Cuaca ekstrem yang melanda wilayah tersebut menjadi biang keladi kerusakan tanaman cabai, menyebabkan banyak pohon membusuk, buah rontok, hingga tidak menghasilkan panen sama sekali.
Suparman Adi, salah satu petani cabai di Desa Paron, Kecamatan Ngasem, mengungkapkan betapa sulitnya bertani dalam kondisi cuaca yang tidak menentu ini.
“Cuaca saat ini bagi petani cabai kebanyakan gagal panen karena hujan terus menerus. Curah hujan tinggi akhirnya tidak kuat batang pohon cabai membusuk. Pasti merugi, menanam cabai sampai hari ini belum ada hasilnya,” kata salah satu petani cabai warga Desa Paron, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Kediri, Suparman Adi, Jumat (10/1/2025).
Menurut Suparman, di tengah kondisi cuaca normal, tanaman cabai seharusnya sudah bisa dipanen setiap lima hari sekali. Namun, dengan curah hujan yang tinggi, ia bahkan belum bisa memanen cabai selama sebulan terakhir. Dampaknya, seluruh hasil kerja kerasnya di ladang seluas seperempat hektar tidak membuahkan hasil yang memadai.
“Kalau sekarang dikenal cabai mahal, tetapi bagi petani hasilnya belum ada,” jelasnya.
“Kalau seperti sekarang ini sudah bangkrut. Diprediksi dari biaya sewa sawah dan penanaman ya bangkrut. Karena belum ada hasilnya pohon cabai sudah mati. Matinya kebanyakan air, terus batang pohon menjamur dan membusuk,” tambahnya.
Ironisnya, tingginya harga cabai yang seharusnya menjadi kabar baik bagi petani justru tidak membawa keuntungan. Kerugian besar yang dialami Suparman membuatnya terancam bangkrut.
Senada dengan Suparman, Waluyo, petani cabai lainnya di Desa Paron, juga mengeluhkan hal yang sama. Ia mengaku gagal memanen cabai miliknya meskipun harga cabai sedang tinggi. Curah hujan yang tinggi disertai angin kencang menyebabkan buah cabai yang belum matang rontok lebih dulu.
“Masih hijau-hujau sudah rontok kena curah hujan tinggi. Ya merugi, ada kalau dua zak glangsing,” pungkasnya.
Dua karung cabai yang semestinya bisa dipanen malah menjadi kerugian besar akibat cuaca ekstrem.
Para petani cabai di Kediri kini hanya bisa berharap kondisi cuaca segera membaik. Tanpa cuaca yang mendukung, mereka tidak akan mampu bangkit dari kerugian. Namun, tanpa adanya upaya nyata dari pihak terkait untuk membantu petani yang terdampak, kondisi ini dikhawatirkan akan memperburuk perekonomian lokal, terutama di kalangan petani kecil.
Situasi ini mencerminkan betapa rentannya sektor pertanian terhadap perubahan iklim. Ketika cuaca ekstrem terus terjadi tanpa ada langkah mitigasi yang memadai, bukan hanya petani yang menjadi korban, tetapi juga masyarakat luas yang harus menghadapi kenaikan harga kebutuhan pokok seperti cabai.
Bagi Suparman dan Waluyo, harapan kini bergantung pada perhatian dari pemerintah daerah. Mereka berharap ada solusi, baik berupa bantuan bibit, pelatihan penanganan cuaca ekstrem, atau subsidi untuk meringankan beban mereka.
Kondisi ini menjadi pengingat bahwa perjuangan petani di lapangan tidak pernah mudah, terlebih di tengah hantaman cuaca yang semakin sulit diprediksi. Kenaikan harga tidak selalu berbanding lurus dengan kesejahteraan petani, apalagi jika kerugian lebih besar dari hasil yang didapat.