JCCNetwork.id – Kebiasaan anak pesantren saat mondok saat usai magrib dan menjelang pagi mereka berkumpul duduk sila berserebet, berjejer menghadap sang guru mendengarkan bacaan kitab kuning.
Kitab kuning kesohor di kalangan kaum santri pesantren. Kitab ini punya ciri khas, berwarna kuning, bertuliskan arab gundul alias tidak berharokat, kertasnya juga tipis dan hanya dilipat tidak dilem, apalagi di jilid.
Membaca kitab klasik ini terbilang tidak mudah. Santri musti paham dan bisa ilmu alat yakni, nahwu sharaf.
Jika salah melapalkan bacaan, maka makna dalam kitab kuning bakal berbeda. Ciri khas lainnya adalah, pengartian kata perkata yang ditulis miring dibawah kalimat arab dengan menggunakan bahasa pegon alias arab latin.
Salah satu pesantren di Bekasi, Pondok Pesantren Attaqwa, Ujung Harapan, Kabupaten Bekasi yang masih mengajarkan para santrinya belajar kitab kuning. Mulai dari kitab Ta’lim Muta’lim hingga kitab Kawakib.
Biasanya sang guru membaca satu paragraf awalan (muqodimah), dilanjutkan para santri satu persatu membaca kita klasik tersebut.
Ada yang terbata-bata, ada yang gugup, bahkan ada yang salah membaca harokat berulang-ulang. Membaca kita kuning gampang-gampang susah bagi yang belum terbiasa.
Saat ini mulai jarang ditemui yang mahir membaca kitab klasik karangan ulama-ulama terdahulu. Saking jarangnyaz di beberapa daerah digelar lomba baca kitab kuning.
Hal itu agar melestarikan tradisi pesantren dalam hal mengkaji ilmu agama, mulai dari kajian ibadah hingga fiqih. Ini dibutuhkan bagi mereka yang bergelut di masyarakat sebagai ustadz.
Membaca kitab kuning, membaca literatur keislaman buah fikir dari para ulama terdahulu. Di Indonesia ulama yang produktif menulis kitab kuning, salah satunya yakni Syech Nawawi.
Para ustadz, Kyai dan Ulama biasanya mengambil rujukan solusi permasalahan selain dari Al-Qur’an dan hadits juga membuka kitab kuning tersebut.
Sebab, kita kuning salah satu sumber acuan dalam hal ubudiyah hingga muamalat hasil dari Iztima Ulama terdahulu yang masih dipakai hingga saat ini.
(Dede Rosyadi)