JCCNetwork.id-Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Diyah Puspitarini, mengungkapkan kekhawatirannya mengenai kasus penganiayaan balita yang terjadi di daycare Wensen, Depok, Jawa Barat.
Kasus ini melibatkan pemilik daycare, Meita Irianty, yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka. Puspitarini menekankan pentingnya kejadian ini sebagai pelajaran berharga bagi semua lembaga penitipan anak dan instansi terkait untuk melakukan evaluasi menyeluruh.
Dalam wawancara yang disiarkan dalam program “Beritasatu Sore” di BTV pada Jumat (2/8/2024), Puspitarini mendesak agar semua daycare melakukan evaluasi internal dan meminta dinas pendidikan untuk meningkatkan pengawasan dan pendataan secara proaktif.
“Kami mohon agar semua daycare melakukan evaluasi dan dinas pendidikan meningkatkan upaya pengawasan dan pendataan,” kata Meita dalam program “Beritasatu Sore” yang ditayangkan BTV, Jumat (2/8/2024).
Puspitarini juga menegaskan bahwa daycare Wensen hanya memiliki izin sebagai sekolah pendidikan anak usia dini (PAUD), bukan sebagai tempat penitipan anak (TPA), yang merupakan kategori pendidikan nonformal. Ia menambahkan,
“Daycare harus memiliki izin khusus sesuai dengan permendikbudristek. Kami sudah meminta irjen Kemendikbudristek untuk memeriksa dan memastikan bahwa daycare di sekitar sudah terdaftar dengan benar,” kata Puspitarini.
Menurut Puspitarini, penting untuk memastikan data mengenai izin operasional daycare akurat.
“Jika daycare sudah berizin, persyaratannya cukup ketat, termasuk adanya nomor induk berusaha (NIB), supervisi, dan monitoring. Pengasuhnya juga harus memenuhi kualifikasi tertentu dan rasio siswa harus sesuai dengan pengasuh,” tambahnya.
KPAI juga mencatat data yang mengkhawatirkan mengenai kekerasan terhadap anak-anak balita.
“Angka ini menunjukkan betapa rentannya anak-anak balita terhadap kekerasan. Mereka sering kali tidak memahami bahwa mereka sedang mengalami kekerasan, serta tidak bisa mengungkapkan rasa sakit dan trauma yang mereka alami,” jelasnya.
Ia menyoroti betapa rentannya balita terhadap kekerasan, mengingat banyak dari mereka tidak mampu mengungkapkan rasa sakit atau trauma yang mereka alami.
“Ini menjadi perhatian kita bersama untuk lebih peduli terhadap anak-anak, baik sebagai orang tua, masyarakat, maupun lembaga pendidikan dan pengasuhan,” pungkas Puspitarini.